Ambon, gardamaluku.com, — Warga Pulau Buru, Maluku kembali menggeruduk kantor Gedung Balai Wilayah Sungai (BWS) Maluku terkait luapan Bendungan Waeapo yang menenggelamkan ratusan rumah warga dan lahan persawahan pada Jumat (5/7) lalu.
Mereka sempat long mars dari Patung Leimena menuju Gedung BWS Maluku di Jalan Mr, CHR, Soplanit, Rumah Tiga sekitar pukul 11:00 WIT. Setibanya di BWS, mereka langsung berorasi. Mereka meminta BWS Maluku segera menggantikan rugi persawahan dan rumah yang menjadi korban luapan bendungan Waeapo.
Mereka meminta petugas keamanan membuka pagar yang tertutup rapat yang dikawal aparat kepolisian Polresta Ambon dan Polsek Baguala untuk masuk berorasi di halaman gedung. Mereka juga meminta kepala satpam segera menghadirkan PLT Kepala Balai Wilayah Sungai, Kepala Satuan Kerja (Kasatker) dan PPK.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun petugas kepala satpam bersikeras untuk menutup pagar karena seluruh pimpinan tidak berada di tempat.
Dari luar pagar, koordinator aksi, Hidayat Wara-wara mengatakan warga yang mendiami sepuluh desa di dataran Waeapo mengalami kerugian lahan sawah hingga kehilangan tempat tinggal imbas luapan bendungan waeapo.
Ia meminta PLT Kepala BWS, Kasatker dan PPK segera bertanggungjawab. Jebolnya bendungan membuat petani merugi akibat sawah mereka rusak.tak hanya itu, warga juga kehilangan tempat tinggal. Rumah milik seorang janda bernama Vonia (43) warga Grandengan, Kecamatan Waeapo hanyut. bWS harus bertanggungjawab dan segera menggantikan kerugian warga.
Jebolnya bendungan Waeapo itu sempat menenggelamkan sekitar rumah-rumah penduduk yang tersebar di sepuluh desa di dataran Waeapo. Banjir kata dia, merupakan terparah sepanjang 2024.
Ia mengkritik proyek bendungan Waeapo yang menghabiskan dana APBN senilai Rp2,1 triliun. Proyek yang diklaim menjadi wisata baru di Pulau Buru dan bisa mengairi sepuluh ribu persawahan malah mendatang musibah.
Ia menilai, BWS Maluku gagal karena pekerjaan proyek yang dikerjakan selama delapan tahun sejak 2017 tak kunjung selesai.
“Ini kegagalan PLT kepala balai, kepala balai harus bertanggungjawab terkait kesengsaraan warga, warga disana menangis karena jebolnya bendungan Waeapo,”ucapnya.
Hidayat menduga terjadi praktek korupsi di proyek pemberian presiden Joko Widodo (Jokowi) itu. Ia juga mengatakan pihaknya akan mendesak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku melakukan audit terkait bendungan setinggi 72 meter tersebut.
“Ada KPK di Ambon, kami akan bertemu mereka, kami akan serahkan tuntutan aksi kami, agar PLT Kepala Balai diperiksa,”tuturnya.
Ia juga meminta Kepala Satuan Kerja (Kasatker) dan PPK yang menangani proyek bendungan segera dicopot. Mereka, sambungnya, dinilai becus terkait pekerjaan proyek bendungan Waeapo yang ditargetkan rampung 2023.
“Proyek itu akan diresmikan presiden Jokowi di 2024 namun proyek masih ada pekerjaan, ini kegagalan,”ungkapnya.
Massa aksi kemudian bertemu dengan bagian Humas BWS Maluku setelah kepala satpam memediasi. Saat pertemuan, Humas Balai Wilayah Sungai (BWS) Maluku Noni Pattiwael berdalih musibah banjir yang menerjang penduduk di dataran Waeapo pada Jumat (5/7) lalu bukan karena faktor proyek Bendungan yang dibuat-buat oleh pekerja namun diklaim itu bencana.
Ia bilang bendungan Waeapo sudah tertangani langsung oleh pusat setelah terjadi luapan diatas bendungan karena kondisi curah hujan. Mereka didatangkan untuk melakukan observasi di lokasi bendungan.
“Jadi sudah ada penangan dari pusat, sudah tertangani langsung oleh pusat yang didatangkan melakukan observasi disana,”ucapnya saat temui massa aksi, Rabu (24/7).
Ia bilang, pihaknya tidak punya porsi lebih untuk membahas bendungan Waeapo. Mereka juga diklaim tak punya data untuk menyampaikan secara detail. Mereka hanya punya tugas untuk mencatat poin-poin terkait tuntutan massa aksi untuk disampaikan ke pimpinan. Humas berjanji akan meneruskan aspirasi massa aksi ketika sejumlah pimpinan yang menangani bendungan Waeapo berada di kantor karena mereka sementara bertugas di bendungan Waeapo.
“Nanti kalau sudah ada pimpinan-pimpinan yang kembali dari tempat tugas mereka nanti saya sampaikan yang dicatat, kalau massa aksi ingin bertemu dengan pimpinan segera memasukan surat audiens,”ucapnya.
Noni mengklaim proyek Bendungan Waeapo itu mulai dikebut pada 2021 atau berkisar tiga tahun pekerjaan setelah analisis dampak lingkungan (AMDAL) terbit pada 2020.
“Jadi betul pekerjaan di tahun 2017 namun AMDAL keluar 2020 dan fisiknya 2021,”ujarnya.
Ia bilang, kalau mengikuti betul alias prosedur yang sebenarnya Bendungan Waeapo sesuai masa kontrak kerja dikerjakan paling lama lima tahun. Sementara proyek bendungan Waeapo itu baru sementara berjalan tiga tahun.
“Kalau untuk bendungan itu paling lama lima tahun, sementara baru dikerjakan tiga tahun,” pungkasnya. (M-01)