Piru, GardaMaluku.com— Polemik pemutusan hubungan kerja (PHK) sementara terhadap ratusan karyawan PT Spice Island Maluku (SIM) terus menuai sorotan publik.
Penghentian aktivitas operasional perusahaan yang berbasis di Seram Bagian Barat (SBB) ini bukan hanya berdampak pada keberlangsungan usaha, tetapi juga menyisakan persoalan sosial-ekonomi yang pelik.
Aktivis sosial SBB sekaligus pemerhati investasi dari gerakan Saka Mese Nusa, Yanto Lemosol, menyoroti minimnya narasi publik yang membahas tanggung jawab Pemerintah Daerah (Pemda) dalam krisis ini.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia menilai, terlalu banyak perhatian tertuju pada pihak perusahaan, sementara peran Pemda dalam proses administratif justru luput dari pengawasan.
“Keputusan penghentian aktivitas PT SIM adalah tindakan administratif dari Bupati SBB. Maka konsekuensi sosial seperti PHK massal adalah tanggung jawab langsung pemerintah daerah,” tegas Yanto saat diwawancarai, Minggu (27/07).
Menurutnya, DPRD SBB seharusnya tidak hanya memanggil pihak perusahaan, namun juga memanggil Bupati SBB sebagai otoritas yang mengambil keputusan strategis dalam persoalan ini.
“Ini bukan semata persoalan bisnis. Ini menyangkut tata kelola pemerintahan, komitmen terhadap keadilan sosial, dan keberpihakan kepada rakyat. Bupati harus dipanggil untuk menjelaskan dasar kebijakan yang diambil,” imbuhnya.
Yanto juga menegaskan bahwa konflik agraria dan dampak turunannya tidak bisa dipisahkan dari tanggung jawab Pemda.
Kebijakan penghentian seharusnya dilakukan dengan perencanaan yang matang, termasuk langkah mitigasi atas dampak sosial-ekonomi yang mungkin timbul.
“Kalau kebijakan itu memang untuk melindungi hak masyarakat adat, tentu itu langkah maju. Tapi tidak cukup sampai di situ. PHK massal di Hatusua dan Kawa semestinya sudah diantisipasi. Jika tidak, berarti perencanaan kita lemah,” ujarnya.
Dalam pandangannya, fungsi pengawasan DPRD SBB juga patut dipertanyakan.
Ia menilai, DPRD belum menunjukkan sikap yang adil dalam melihat permasalahan ini secara menyeluruh.
“Fungsi pengawasan DPRD jangan tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Jika hanya perusahaan yang dipanggil sementara Bupati tidak dimintai klarifikasi, maka pengawasan itu cacat,” kritik Yanto.
Ia juga menekankan bahwa ratusan karyawan yang kehilangan pekerjaan bukan sekadar angka statistik, melainkan individu yang kini kehilangan penghidupan.
“Buruh jangan dijadikan korban atas konflik lahan yang belum terselesaikan. Begitu juga perusahaan jangan langsung dijadikan kambing hitam. Kita harus jujur melihat bahwa ada andil kebijakan publik yang gegabah di balik kekacauan ini,” tambahnya.
Sebagai langkah konstruktif, Yanto mendorong dibentuknya forum mediasi permanen yang melibatkan semua pihak mulai dari pemerintah daerah, perusahaan, masyarakat adat, perwakilan buruh, dan tokoh independen.**


















