Tinggal menghitung durasi waktu beberapa hari lagi, lonceng ritual politik akan dibunyikan di seluruh wilayah Nusantara Republik Indonesia, termasuk di Maluku sebagai penanda dimulainya percaturan Pilkada 2024 oleh para kompetitor kepala daerah.
Pilkada adalah kalender ketatanegaraan lima tahunan untuk melakukan sirkulasi kekuasaan dalam rangka memilih para calon kepala daerah, baik Gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta walikota dan Wakil walikota.
Pilkada merupakan sarana demokrasi untuk mewujudkan kedaulatan rakyat, sebagai saluran kanalisasi kedaulatan tersebut, maka mestinya Pilkada dilaksanakan berdasarkan asas luber dan jurdil (langsung, umum, bebas rahasia, jujur dan adil), sebagaimana termaktub secara eksplisit dalam norma Pasal 22E UUD NRI 1945.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pagelaran Pilkada serentak Nasional merupakan pertama dalam perjalanan sejarah peradaban perpolitikan Indonesia, tentunya memiliki tingkat kompleksitas yang sangat tinggi.
Tak heran aroma praktek monopoli sistem dan kompromi politik busuk menjadi jurus sakti mulai tercium, dan dianggap sesuatu yang lazim dalam mendulang suara elektoral. Singkat kata, bagi para perampok demokrasi dan mafia hukum dalam mengambil alih maupun mempertahankan kekuasaan semua instrumen hukum nya halal.
Saat ini menjelang Pilkada serentak Nasional di Maluku euforia politik dan konstruksi wacana tidak sehat kerap kali dihembuskan di ruang publik sebagai strategi marketing politik, guna menggenjot tingkat elektabilitas, popularitas dan elektabilitas pasangan calon.
Salah satu isu yang dimainkan adalah preferensi politik identitas, yang acap kali diproduksi oleh para politisi hitam yang dahaga kekuasaan, terutama para aktor politik atau tim sukses.
Informasi hoax, narasi sentimen negatif, argumen-argumen dangkal dan kering referensi serta konsep non data hingga isu politik identitas adalah sampah digital, yang saat ini mulai tumbuh subur di ruang publik.
Sehingga sangat berbahaya karena dapat mencemarkan nilai-nilai humanisme dan harmonisasi sosial di masyarakat, sekaligus menjadi ancaman terhadap kelangsungan dan pertumbuhan demokrasi di Maluku.
Hal ini, senada dengan apa yang disampaikan oleh Francis Fukuyama, seorang ilmuwan politik dan penulis Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa “politik identitas adalah ancaman utama terhadap demokrasi”.
Olehnya itu, jika Masyarakat kurang disuplai pendidikan politik dan tidak diedukasi sebagai upaya filterisasi terhadap aneka wacana dan ragam informasi sesat, maka akan terseret dalam arus politik identitas, yang berimplikasi dapat merusak ekosistem pluralisme, multikulturalisme dan toleransi di Maluku.
Tidak bisa dipungkiri bahwa politik identitas adalah komoditas politik, yang laris manis di jual oleh para aktor politik maupun tim sukses disetiap musim ritual politik tiba, dengan tujuan untuk memperoleh insentif elektoral gemuk.
Meskipun politik identitas telah menjadi narasi antik, tetapi terus didaur ulang saat musim Pemilu/Pilkada sebagai alat perjuangan politik atau praktik mobilisasi politik atas dasar identitas kelompok seperti Suku, Agama, Ras, Etnis, dan antar Golongan, dengan mempolitisasi dan mengkapitalisasi identitas tertentu dalam merebut kekuasaan.
Karena itu, upaya mengelola polarisasi dan politik identitas di Maluku, caranya harus kita mempraktekan sistem politik yang berkeadaban dan kearifan berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom’s). Seperti semangat Siwalima, Pela, Gandong, Kai Wait, Ain Ni Ain dan lain lain dalam menyikapi iklim dinamika pilkada serentak nasional di Maluku.
Sebab, keunggulan nilai-nilai budaya diatas merupakan ungkapkan mulia para leluhur terdahulu telah menjadi simbol keperkasaan, dan menjadi sistem nilai pranata adat istiadat yang fundamental bagi orang Basudara di Maluku dalam membangun pola interaksi sosial di masyarakat.
Dalam upaya membendung derasnya arus polarisasi politik dan politik identitas, Penjabat Gubernur, Bupati dan Walikota di 11 kabupaten/kota punya peran penting untuk mencerahkan dan membangun optimisme kepada publik dengan narasi positif, produktif dan konstruktif bahwa pilkada adalah ajang pertarungan ide dan gagasan membangun daerah 5 tahun kedepan.
Selain itu, para penjabat Kepala daerah harus memastikan kebijakannya netral dan tidak berpihak, sebab masuknya bibit unggul politik identitas ialah dari pintu polarisasi. Sementara terjadinya polarisasi karena ragam faktor yaitu, selain faktor identitas, ideologi, budaya dan figur juga penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Contoh konkret potretan polarisasi politik dan politik identitas ialah kita bercermin pada Pilkada DKI Jakarta yang berlangsung pada 2017. Kala itu, ketika terjadi putaran kedua antara Anies Baswedan-Sandiaga Uno versus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Saiful Hidayat, yaitu terjadi pertarungan dua poros besar yaitu antara faksi konservatisme Islam versus faksi hiper Nasionalisme.
Pada faksi konservatisme Islam, dengan pengaruh ideologi doktriner menganggap mereka lah hamba-hamba yang paling suci dan layak menjadi Kepala daerah saja. Mereka memiliki keterampilan untuk mengkapitalisasi identitas, dan simbol-simbol agama dalam mendulang suara elektoral.
Sedangkan pada faksi hiper Nasionalisme, hadir dengan memiliki nasionalisme buta dan argumentasi subjektif, irasional dan provokatif. Sehingga merasa mereka sebagai warga Negara dan anak Bangsa yang paling pancasilais dan Nasionalis, seakan akan orang lain anti Pancasila dan menganggap kaum mereka sajalah yang hanya layak hidup dalam stadion NKRI.
Alhasil nya setelah Pilkada usai pun masih terjadi jurang pemisah sosial yang lebar di kalangan masyarakat. Hal itu, tentunya menghambat Pemerintahan baru yang terpilih dalam mewujudkan visi dan misi serta program dalam bentuk kebijakan.
Dengan demikian, sebagai solusi dalam mencegah tumbuh dan berkembang biaknya Polarisasi politik dan politik identitas di Maluku, maka peran dan kiprah nyata para aktor politik, pasangan calon dan tim sukses untuk memberikan pendidikan politik, mengedukasi dan mensosialisasikan tentang bahaya politik identitas kepada masyarakat.
Sedangkan penyelenggara pemilu pentingnya menjaga independensi, integritas dan profesionalisme, sehingga terciptanya iklim dinamika sosial yang produktif dan konstruktif. Dengan begitu, menghasilkan Pilkada yang berintegritas, demokratis, jujur, bersih, aman dan damai.
Kendati demikian rakyat sebagai pemilik saham kedaulatan harus memiliki kecerdasan dalam menentukan pilihan politik berdasarkan hati nurani, tanpa adanya intimidasi dan diskriminasi oleh siapapun.
Rakyat juga sebelum menentukan pilihan politik sebaiknya melacak track record, visi misi dan program dari para kompetitor terlebih dahulu. Agar pemimpin hasil produk Pilkada diharapkan berkualitas dan berintegritas dalam menahkodai bahtera birokrasi pemerintahan di masing-masing daerah, yang lebih bermartabat dan berkemajuan. (***)