Ambon, Maluku – Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Ambon menggelar diskusi publik bertajuk “Kekerasan Seksual: Korban, Pelaku, dan Sistem Pendidikan di Indonesia—Membongkar Realitas, Membangun Ruang Aman di Perguruan Tinggi,” Jumat (03/10).
Kegiatan ini merupakan bagian dari program Ngopi (Ngobrol Pintar) yang dilaksanakan atas kerja sama Program Studi Agama Budaya, Satgas PPKPT IAKN Ambon, Bacakar, GEMPAR (Gerakan Mahasiswa Peduli Rakyat), dan PIJAR (Peace, Inclusion, Justice, Advocacy, and Rights) Lumapoto.
Acara yang berlangsung di pelataran Fakultas Ilmu Sosial Keagamaan (FISK) IAKN Ambon ini menghadirkan tiga narasumber dari latar belakang berbeda, yaitu Auliya Ramadhani dari Gerakan Mahasiswa Peduli Rakyat (GEMPAR), Selvone Christin Pattiserlihun dari Satgas PPKPT IAKN Ambon yang juga mewakili PIJAR Lumapoto, serta Edward Turalely, seorang penyintas sekaligus pemerhati isu kekerasan seksual.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam sambutan pembuka, Dekan FISK Febby N. Patty menegaskan bahwa diskusi ini lahir dari realitas maraknya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Ia menyoroti bahwa regulasi belum berjalan maksimal dalam mengatasi persoalan ini karena kuatnya relasi kuasa dan budaya diam yang masih mengakar di lingkungan kampus.
Auliya Ramadhani dalam pemaparannya menekankan bahwa kekerasan seksual tidak bisa dilepaskan dari ketidaksetaraan gender yang telah lama dinormalisasi oleh masyarakat.
Menurutnya, ketimpangan gender merupakan masalah sistemik yang merugikan perempuan maupun laki-laki. Sementara itu, Selvone Pattiserlihun menyoroti praktik kampus yang kerap menutupi kasus kekerasan seksual demi menjaga citra institusi.
Ia menegaskan bahwa reputasi kampus justru ditentukan oleh bagaimana keberanian dan komitmen institusi menyelesaikan kasus, bukan dari upaya melindungi pelaku.
Edward Turalely, yang hadir sebagai penyintas, berbagi pengalaman sekaligus dorongan agar suara korban diberi ruang.
Ia mengingatkan bahwa siapa pun bisa menjadi pelaku kekerasan seksual tanpa memandang jenis kelamin maupun orientasi seksual. Menurutnya, korban bukan hanya berhadapan dengan pelaku, tetapi juga dengan sistem.
Kehadiran akademisi, aktivis, satgas, dan penyintas dalam forum ini menunjukkan pentingnya membangun kolaborasi lintas sektor untuk menciptakan ruang aman di perguruan tinggi.
Diskusi publik ini diharapkan menjadi pemantik bagi kampus dan masyarakat luas untuk lebih serius menangani kasus kekerasan seksual, sekaligus memperjuangkan hak-hak korban.***