- Euforia kemenangan yang berlebihan berpotensi melahirkan fenomena “sok mengatur” dalam komposisi pemerintahan, di mana kepentingan balas jasa lebih dominan daripada kualitas dan kinerja.
Oleh : Fahrul Kaisupy | Direktur Rumah Inspirasi dan Literasi.
Ambon, Gardamaluku.com— Pernyataan Gubernur Maluku Hendrik Lewerissa tentang penerapan meritokrasi dalam tata kelola pemerintahan merupakan sebuah janji besar yang layak diapresiasi. Dalam konsepnya, meritokrasi adalah sistem yang memastikan bahwa jabatan dan tanggung jawab diberikan kepada individu yang kompeten, berprestasi, dan profesional, bukan berdasarkan kedekatan politik, hubungan kekeluargaan, atau loyalitas pribadi.
Namun, sebagaimana sejarah politik dan birokrasi di banyak daerah, niat baik saja tidak cukup. Godaan politik dan kepentingan kelompok selalu mengintai di balik setiap kebijakan, termasuk dalam reformasi birokrasi.
Hendrik-Vanath sebagai pemimpin baru di Maluku harus waspada terhadap ambisi terselubung dari tim pemenangan yang sering kali merasa berhak ikut menentukan struktur birokrasi. Euforia kemenangan yang berlebihan berpotensi melahirkan fenomena “sok mengatur” dalam komposisi pemerintahan, di mana kepentingan balas jasa lebih dominan daripada kualitas dan kinerja.
Jika tidak diantisipasi, meritokrasi yang digaungkan hanya akan menjadi slogan kosong yang bertabrakan dengan realitas birokrasi “asal bapak senang.”
Kesadaran ini penting karena meritokrasi bukan hanya soal menunjuk pejabat yang terlihat mumpuni, tetapi juga memastikan bahwa mekanisme rekrutmen, promosi, dan evaluasi kinerja benar-benar berbasis prestasi.
Jika prosesnya masih dikendalikan oleh pertimbangan politis atau relasi pribadi, maka sistem ini hanya akan melahirkan oligarki baru yang lebih eksklusif.
Selain itu, tantangan terbesar dalam penerapan meritokrasi di Maluku adalah membongkar budaya birokrasi yang sudah lama terbiasa dengan kompromi dan kepentingan transaksional. ASN harus memahami bahwa meritokrasi bukan hanya tentang mendapatkan posisi tertentu, tetapi juga tentang tanggung jawab besar dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik.
Untuk itu, Hendrik-Vanath harus membuktikan bahwa meritokrasi yang mereka janjikan bukan sekadar alat politik, melainkan sistem yang benar-benar diterapkan secara adil dan transparan.
Masyarakat Maluku juga harus berperan aktif dalam mengawal pemerintahan ini, memastikan bahwa kebijakan yang diambil berpihak pada kepentingan rakyat, bukan hanya kepentingan segelintir elit.
Dengan keterlibatan masyarakat dan pengawasan yang ketat, reformasi birokrasi berbasis meritokrasi bukan hanya menjadi retorika, tetapi benar-benar menjadi fondasi bagi Maluku yang lebih maju dan berkeadilan.***