Ambon, GardaMaluku.com– Penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Shanxi Sheng’an Mining Co., Ltd. dan PT. Indonesia Mitra Jaya di Osaka, Jepang, pada 7 Oktober 2025 lalu, menandai dimulainya tahap awal proyek strategis nasional Maluku Integrated Port (MIP). Namun, di balik seremoni itu, muncul tanda tanya besar dari masyarakat Negeri Kaibobu, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), yang mengklaim sebagai pemilik hak ulayat atas lahan lokasi proyek tersebut, Senin (13/10).
Alumnus Magister Hukum Universitas Pattimura, Mario Kakisina, yang juga putra daerah asal Negeri Kaibobu, menyoroti kejanggalan dalam proses MoU itu. Menurutnya, publik berhak mengetahui apakah kerja sama dua perusahaan tersebut benar-benar terkait dengan pembangunan MIP, atau justru menyimpan agenda lain.
“Kalau memang ini proyek pelabuhan terpadu, mengapa mitranya perusahaan tambang, bukan perusahaan pelabuhan atau logistik?” ujarnya mempertanyakan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Mario mengungkapkan, Shanxi Sheng’an Mining Co., Ltd. adalah perusahaan asal Tiongkok yang bergerak di bidang pertambangan batu bara dan produk kimia turunan seperti kokas dan metanol. Sementara PT. Indonesia Mitra Jaya dikenal sebagai perusahaan yang berfokus pada jasa perawatan gedung serta pemasok kebutuhan industri, bukan perusahaan dengan kompetensi utama di bidang infrastruktur pelabuhan.
Kecurigaan masyarakat semakin menguat karena proyek senilai USD 50 juta atau sekitar Rp831 miliar itu diteken tanpa melibatkan DPRD Maluku maupun DPRD SBB. Padahal, kedua lembaga tersebut merupakan representasi resmi masyarakat dalam pengawasan kebijakan pembangunan.
MIP sendiri digadang-gadang menjadi pelabuhan terpadu terbesar di kawasan timur Indonesia, dengan luas lahan mencapai 500 hektar dan mencakup terminal peti kemas serta fasilitas kapal Roll-on/Roll-off. Namun, menurut Mario, lahan bekas PT. Djayanti Group di Desa Waisarisa—lokasi yang disebut dalam MoU—hanya sekitar 68 hektar.
“Kalau MoU menyebut 500 hektar, sementara lahan eks Djayanti hanya 68 hektar, sisanya mau ambil dari mana? Apakah lahan masyarakat Kaibobu akan ikut digarap tanpa persetujuan mereka?” tegas Mario.
Ia menambahkan, masyarakat Negeri Kaibobu merupakan pemilik sah tanah petuanan di kawasan Waisarisa dan sekitarnya, sehingga wajib dilibatkan dalam setiap proses perencanaan dan negosiasi. “Pelibatan masyarakat adat bukan hanya soal etika, tapi kewajiban hukum. Pemerintah harus membuka komunikasi dan melakukan konsultasi publik agar investasi berjalan tanpa konflik,” ujarnya.
Mario menegaskan, masyarakat Kaibobu pada dasarnya mendukung investasi strategis untuk kemajuan daerah. Namun, prosesnya harus transparan dan partisipatif. “Kami tidak menolak pembangunan. Tapi sebelum ada MoU, seharusnya pemerintah duduk bersama masyarakat, melakukan mediasi, sosialisasi, dan membangun kesepahaman dengan investor,” katanya.
Mario juga khawatir, di balik proyek MIP, terdapat agenda tersembunyi yang berkaitan dengan eksploitasi sumber daya alam. “Kami takut ada kepentingan lain. Karena perusahaan asal Tiongkok itu bergerak di bidang pertambangan, jangan sampai bukan pelabuhan yang dibangun, tapi justru tambang yang dibuka di negeri kami. Dan itu kami tolak,” tandas Mario.
Atas dasar itu, Mario mewakili masyarakat dan pemerintah Negeri Kaibobu meminta Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa, untuk menjelaskan secara terbuka kepada publik terkait arah dan kepastian proyek MIP. “Kami butuh kejelasan agar masyarakat tidak merasa ditinggalkan dalam pembangunan di tanah mereka sendiri,” pungkasnya.***


















