- Refleksi pasca pemilihan kepala derah (Pilkada) 2024 ini terinspirasi dari kader partai berlambang Garuda di Saka Mese Nusa dan capaian Pilkada Kabupaten Seram Bagian Barat.* (Fahrul Kaisuku | Fungsionaris DPD KNPI Maluku, Aktivis Literasi dan Praktisi Media).
Ambon, Maluku– Dalam sistem politik demokrasi di Indonesia, partai politik memainkan peran sentral sebagai penggerak utama agenda pembangunan dan aspirasi masyarakat. Salah satu ujian terbesar bagi soliditas partai adalah Pilkada, yang tidak hanya menjadi ajang unjuk kekuatan politik, tetapi juga sebagai momen untuk merealisasikan visi-misi partai melalui calon kepala daerah yang diusung.
Namun, sering kali terjadi fenomena yang merugikan, yaitu pembangkangan kader terhadap instruksi partai. Ketika kader partai, terlebih mereka yang menduduki posisi strategis seperti anggota DPRD, tidak mengikuti arahan partai, hal ini mencerminkan tantangan serius dalam menjaga kedisiplinan dan kredibilitas partai di mata publik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kader yang menolak untuk mendukung upaya partai dalam memenangkan Pilkada sebenarnya telah melanggar prinsip dasar loyalitas politik. Sebagai bagian dari organisasi politik, kader memiliki kewajiban untuk menaati keputusan kolektif yang dihasilkan melalui mekanisme partai. Ketidakpatuhan ini menjadi lebih mencolok ketika pelaku adalah anggota DPRD yang notabene mendapatkan posisi tersebut melalui dukungan partai.
Seharusnya, posisi strategis ini digunakan untuk memperkuat pengaruh partai, bukan menjadi alat bagi ambisi pribadi yang berpotensi merugikan keseluruhan perjuangan politik partai.
Ketidakpatuhan sebagai Bentuk Pengkhianatan Moral dan Politik
Ketidakpatuhan terhadap instruksi partai bukan hanya melanggar etika organisasi, tetapi juga merupakan bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan yang diberikan partai dan konstituen. Seorang anggota DPRD, yang merupakan representasi politik partai di lembaga legislatif, memiliki tanggung jawab besar untuk menjalankan visi dan misi partai.
Ketika seorang kader, apalagi anggota DPRD, tidak mendukung langkah partai dalam Pilkada, tindakan ini tidak hanya merusak soliditas internal partai, tetapi juga berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap partai tersebut.
Kader yang tumbuh besar bersama partai seharusnya memahami betul bahwa keberadaannya dalam dunia politik tidak terlepas dari dukungan struktur dan basis massa partai. Kesuksesan politiknya adalah hasil dari kerja kolektif, bukan semata-mata usaha individu.
Maka, ketika kader seperti itu membangkang, dampaknya tidak hanya dirasakan dalam konteks Pilkada, tetapi juga dapat menurunkan semangat dan kepercayaan kader lainnya di tingkat bawah.
Sanksi Tegas sebagai Langkah Preventif dan Korektif
Untuk menghadapi kader yang tidak loyal, partai harus bertindak tegas. Salah satu langkah yang paling relevan dalam konteks ini adalah pemberian sanksi berat berupa Pergantian Antar Waktu (PAW).
Sanksi ini tidak hanya menjadi hukuman yang setimpal bagi kader yang membangkang, tetapi juga menjadi pesan kuat bahwa partai tidak akan mentolerir pelanggaran terhadap disiplin organisasi.
PAW memiliki dasar logis yang kuat. Sebagai anggota DPRD, seorang kader dipilih tidak hanya karena kapabilitas individunya, tetapi juga karena dukungan politik dari partai.
Jika kader tersebut tidak lagi mewakili kepentingan partai, maka adalah hak partai untuk menggantikannya dengan kader lain yang memiliki komitmen lebih besar terhadap perjuangan partai. Langkah ini juga memberikan pelajaran penting bahwa loyalitas dan disiplin adalah nilai utama yang harus dipegang teguh dalam politik.
Selain itu, pemberian sanksi yang tegas seperti PAW akan mencegah terjadinya preseden buruk. Tanpa sanksi yang jelas, kader lain mungkin merasa bahwa pembangkangan terhadap partai adalah sesuatu yang bisa dimaklumi.
Hal ini akan memperburuk disiplin internal partai dan melemahkan kemampuan partai untuk bergerak sebagai entitas politik yang solid.
Integritas Partai di Mata Publik
Ketegasan dalam menangani kader yang membangkang juga penting untuk menjaga integritas partai di mata publik. Masyarakat akan lebih percaya pada partai yang mampu menunjukkan bahwa mereka memiliki mekanisme internal yang kuat untuk mengelola konflik dan menjaga kedisiplinan.
Sebaliknya, partai yang terlihat lemah dalam menghadapi ketidakpatuhan kader akan kehilangan kepercayaan, baik dari konstituen maupun dari kader lainnya.
Dalam konteks Pilkada, loyalitas kader terhadap keputusan partai adalah salah satu kunci keberhasilan. Pilkada bukan hanya tentang memenangkan kursi kepala daerah, tetapi juga tentang memperkuat kehadiran partai di daerah tersebut.
Ketika ada kader yang membangkang, dampaknya dapat merusak strategi partai secara keseluruhan. Tidak hanya itu, masyarakat juga akan menilai bahwa partai tersebut tidak cukup solid untuk memperjuangkan aspirasi mereka.
Kesimpulan: Menegakkan Disiplin Demi Masa Depan Partai
Ketidakpatuhan kader, terutama yang sudah berada di posisi strategis seperti anggota DPRD, adalah ancaman serius bagi keberlanjutan perjuangan politik partai.
Untuk itu, sanksi berat seperti PAW adalah langkah yang tidak hanya wajar, tetapi juga diperlukan untuk menjaga disiplin dan integritas partai.
Partai politik adalah mesin kolektif yang bergerak berdasarkan prinsip solidaritas, loyalitas, dan kedisiplinan. Tanpa ketegasan dalam menegakkan nilai-nilai ini, partai akan kehilangan kekuatan dan kepercayaan publik yang menjadi modal utama dalam politik.
Oleh karena itu, langkah tegas terhadap kader yang membangkang bukanlah bentuk otoritarianisme, tetapi wujud nyata dari komitmen partai untuk terus memperjuangkan visi-misinya dengan penuh integritas.
Jika partai ingin tetap relevan di tengah dinamika politik yang semakin kompleks, menegakkan disiplin harus menjadi prioritas utama. Ini bukan hanya soal memenangkan Pilkada, tetapi tentang menjaga kepercayaan masyarakat dan keberlanjutan perjuangan politik di masa depan.***