- Seratus hari bukan soal capaian, tetapi soal fondasi. Dan fondasi, bila dibangun terburu-buru, hanya menghasilkan bangunan yang mudah runtuh.
Oleh: M. Fahrul Kaisupy | Wakabid Pengelolaan Opini dan Media Sosial DPD KNPI Maluku
Ambon, GardaMaluku.com– Setiap kali terjadi transisi kepemimpinan, baik di tingkat nasional maupun daerah, masyarakat seolah diarahkan untuk percaya bahwa masa awal pemerintahan, terkenal dengan istilah “100 hari kerja” merupakan periode penentu keberhasilan atau kegagalan seorang pemimpin.
Fenomena ini tidak terkecuali terjadi di Maluku, menyusul pelantikan sejumlah kepala daerah setingkat kabupaten/kota termasuk Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku pada 20 Februari lalu. Banyak pihak kini memusatkan perhatian pada tanggal 30 Mei sebagai akhir dari masa 100 hari kerja, dan menanti “hasil” yang bisa segera dinilai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Padahal, paradigma ini sangat layak untuk dikaji ulang secara kritis, sebab di balik daya tarik simboliknya, tersembunyi sejumlah persoalan konseptual dan praktis yang dapat menyesatkan arah evaluasi publik.
Pertama-tama perlu disadari bahwa 100 hari hanyalah angka simbolik, bukan kerangka evaluatif yang memadai untuk menilai kinerja pemerintahan, apalagi di tingkat daerah yang kerap berhadapan dengan realitas struktural yang kompleks.
Dalam praktik administrasi publik, setiap kebijakan membutuhkan proses bertahap, dari perumusan masalah, penyusunan rencana strategis, penyesuaian regulasi, hingga pelaksanaan yang membutuhkan koordinasi lintas sektor dan waktu yang cukup panjang. Di wilayah seperti Maluku, dengan tantangan geografis dan disparitas antarwilayah yang tinggi, ekspektasi bahwa perubahan signifikan bisa terjadi hanya dalam tiga bulan pertama pemerintahan bukan hanya tidak realistis, tetapi juga berpotensi merusak logika pembangunan jangka panjang.
Dorongan terhadap hasil-hasil instan dalam masa 100 hari sering kali membuat kepala daerah terjebak pada pendekatan simbolik dan kebijakan yang berorientasi pencitraan.
Tindakan-tindakan yang bersifat dangkal namun terlihat “nyata” di permukaan, lebih diprioritaskan ketimbang pembangunan pondasi kebijakan yang kokoh. Akibatnya, kebijakan yang seharusnya dirancang berdasarkan analisis kebijakan publik dan kebutuhan riil masyarakat, justru diganti dengan langkah-langkah yang cepat viral di media, tapi tidak memiliki dampak substansial. Ini menunjukkan bagaimana tekanan publik terhadap capaian jangka pendek dapat mengaburkan esensi tata kelola yang baik.
Di sisi lain, masyarakat juga perlu didorong untuk membangun pola pikir yang lebih kritis dan kontekstual dalam mengevaluasi kinerja pemimpin. Penilaian tidak cukup hanya melihat pada apa yang telah “dilakukan” secara kasat mata, tetapi juga perlu mempertimbangkan bagaimana proses itu dijalankan, seberapa besar kualitas analisis kebijakan di baliknya, dan mengapa kebijakan tersebut menjadi prioritas.
Sedikit perihal ilmu pemerintahan, keberhasilan suatu program tidak hanya diukur dari kecepatan pelaksanaan, tetapi dari kualitas dampaknya terhadap tata kelola, partisipasi publik, transparansi, dan akuntabilitas. Justru di sinilah tantangan terbesar yang sering luput dari perhatian publik: bahwa keberlanjutan dan konsistensi jauh lebih penting dari sekadar kecepatan.
Di tengah dinamika politik dan sosial masyarakat Maluku yang sangat majemuk, penting bagi kita untuk tidak larut dalam euforia penilaian cepat.
Menggantungkan harapan publik pada masa 100 hari justru berisiko menciptakan siklus ekspektasi yang tidak sehat—di mana setiap pemimpin baru dituntut untuk “tampil cepat”, tetapi tidak diberi ruang untuk bekerja secara sistematis dan berbasis data. Hal ini juga mempersempit ruang bagi masyarakat sipil untuk melakukan pengawasan yang lebih strategis dan jangka panjang terhadap arah kebijakan pemerintah.
Maka dari itu, sudah saatnya kita melampaui cara pandang yang sempit dan simbolik dalam menilai pemerintahan. Evaluasi terhadap kinerja kepala daerah harus didasarkan pada indikator yang jelas, terukur, dan berorientasi jangka menengah hingga panjang.
Bukan hanya pada pencapaian angka, tetapi pada seberapa kuat arah kebijakan yang dibangun, seberapa serius pemimpin memulai proses reformasi struktural, dan seberapa dalam komitmennya terhadap akuntabilitas publik.
Meluruskan paradigma 100 hari kerja bukan berarti menghilangkan semangat untuk mengawasi atau menuntut akuntabilitas sejak dini.
Sebaliknya, ini adalah langkah untuk memperbaiki cara kita membaca dan memahami dinamika pemerintahan secara lebih dewasa, rasional, dan berbasis pada kenyataan objektif.
Di sinilah peran penting media, akademisi, masyarakat sipil, dan tokoh-tokoh lokal untuk mengedukasi ruang publik di Maluku, agar demokrasi kita tidak hanya bergerak di permukaan, tetapi benar-benar mengakar dalam kesadaran kritis masyarakat.***
Artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis.