Buru, GardaMaluku.com– Aroma kekuasaan tampaknya terlalu cepat memabukkan Abukasim Umanailo. Baru beberapa waktu menjabat sebagai Penjabat Kepala Desa (Pj Kades) Waeperang, Kecamatan Lilialy, Kabupaten Buru, ia langsung menimbulkan badai polemik dengan mencopot hampir seluruh perangkat desa secara sepihak.
Enam tenaga Posyandu, empat petugas Linmas, seluruh Ketua RT dan RW, Sekretaris Desa hingga staf administrasi diberhentikan secara massal—tanpa alasan hukum yang jelas.
Langkah ekstrem ini memicu kecurigaan publik bahwa keputusan tersebut sarat muatan politik dan didorong oleh motif balas dendam pasca Pilkada Buru 2024.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Abukasim diketahui sebagai loyalis Bupati Ikram Umasugi, yang baru saja memenangkan Pilkada.
Informasi yang diterima menyebutkan bahwa mereka yang diberhentikan adalah figur-figur yang dianggap “tidak sejalan” secara politik dalam kontestasi tersebut.
“Pj Kades telah menciptakan kegaduhan dan keresahan di tengah masyarakat,” tegas Alfin Buamona, salah satu pemuda Buru yang turut mengecam langkah tersebut.
Puncak ketegangan terjadi pada Jumat, 4 Juli 2025. Puluhan warga dan eks perangkat desa mendatangi kantor desa untuk meminta penjelasan terkait pemecatan.
Alih-alih mendapat ruang dialog, mereka justru diusir oleh Ketua BPD, Muhammad Umanailo, yang bahkan melarang mereka menginjakkan kaki di kantor desa.
Tak hanya diberhentikan, para mantan perangkat desa juga mengaku belum menerima hak keuangan mereka selama dua bulan terakhir. Gaji tenaga Posyandu, Sekdes, hingga perangkat keamanan desa tak kunjung dibayarkan.
“Kami dipecat tanpa dasar hukum. Sekarang gaji dua bulan juga ditahan. Kami diperlakukan seolah bukan bagian dari warga desa ini lagi,” keluh salah satu mantan perangkat desa yang enggan disebut namanya.
Sejumlah tokoh masyarakat menilai tindakan Pj Kades sebagai bentuk abuse of power yang dapat merusak tatanan sosial dan melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintahan desa.
Langkah ini disebut sangat berbahaya karena dilakukan tanpa mekanisme musyawarah, tanpa surat resmi, dan tanpa pertimbangan kemanusiaan.
Desakan pun menguat agar Pemkab Buru dan Pemerintah Provinsi Maluku segera turun tangan.
Masyarakat berharap ada intervensi tegas untuk menghentikan praktik otoriter dan menyelamatkan demokrasi di tingkat desa dari kepentingan politik balas dendam.***


















