Jalan Panjang Izin Tambang dan Tanggung Jawab Kolektif

- Redaksi

Senin, 9 Juni 2025 - 16:39 WIT

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ambon, GardaMaluku.com– Seringkali kita menyederhanakan izin pertambangan sebagai sebuah “stempel” tunggal dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Realitasnya, jalan yang harus dilalui sebuah perusahaan tambang untuk bisa beroperasi secara legal ibarat melewati sebuah labirin birokrasi yang kompleks, melibatkan banyak “pintu” dinas dan kementerian terkait di tingkat pusat maupun daerah.

Proses ini dirancang untuk memastikan berbagai aspek yakni; lingkungan, teknis, sosial, kehutanan, tata ruang, telah dipertimbangkan secara komprehensif. Karena itu, ketika masalah timbul, menunjuk satu pihak sebagai “kambing hitam” bukan hanya tidak adil, tetapi juga mengabaikan esensi dari sistem perizinan yang multi-lapis dan kolektif tersebut.

Pintu pertama adalah Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan Izin Lingkungan (AMDAL/UKL-UPL). Sebelum berbicara eksploitasi, bahkan sebelum izin eksplorasi diberikan, wilayah yang dituju seringkali memerlukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) di tingkat kabupaten/provinsi untuk memastikan rencana tata ruang wilayah (RTRW) mengakomodasi potensi pertambangan secara berkelanjutan. Ini melibatkan Bappeda dan Dinas Lingkungan Hidup Daerah (DLHD). Kadang di daerah tertentu cukup dengan DLHD saja.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Setelah eksplorasi menemukan cadangan yang layak, misalnya jumlah cadangan deposit dan spesifikasinya, maka pintu paling kritis pertama yang dilalui adalah izin lingkungan. Ini bukan sekadar dokumen, tetapi proses panjang yang menjadi fondasi etis beroperasinya sebuah perusahaan tambang.

AMDAL atau Analisis Mengenai Dampak Lingkungan diwajibkan untuk kegiatan berisiko tinggi. Prosesnya melibatkan penyusunan dokumen AMDAL. Perusahaan wajib menyusun KA-ANDAL, ANDAL, RKL, dan RPL.

Dokumen ini lantas dinilai oleh Komisi Penilai AMDAL yang dibentuk oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) untuk skala nasional, atau Gubernur/Bupati untuk skala daerah. Anggotanya berasal dari berbagai instansi teknis terkait seperti; Kementerian LHK (Pusat/Dinas Provinsi), Kementerian ESDM (Pusat/Dinas Provinsi), Kementerian ATR/BPN (Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional), juga Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) jika wilayahnya pesisir atau laut, seperti halnya kasus tambang di Raja Ampat, harus ada izin dari Menteri KKP. Komisi Penilai Amdal ini juga beranggotakan pakar independen dan perwakilan dari masyarakat.

Satu tahapan yang dilalui adalah Konsultasi Publik, melibatkan partisipasi masyarakat yang diatur ketat dan diawasi oleh DLHD/KLHK. Setelah dianggap layak, Keputusan Kelayakan Lingkungan dikeluarkan Menteri LHK, Gubernur, atau Bupati, sesuai kewenangan, berdasarkan rekomendasi Komisi Penilai. Izin inilah berupa Sertifikat Kelayakan Lingkungan yang menjadi prasyarat mutlak sebuah izin dimulai.

Baca Juga :  Dari Sang Pionir: Menelusuri Jejak HIPMI Maluku dalam Bayangan John Malaiholo

Pintu Kedua adalah dilakukan Uji Kelayakan Teknis dan Ekonomi (Feasibility Study). Biasanya bersamaan atau setelah proses AMDAL, studi kelayakan (Feasibility Study) yang mendalam wajib dilakukan. Studi ini bukan hanya untuk kepentingan investor, tetapi juga menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah. Aspek teknis (metode penambangan, pengolahan), ekonomi (nilai investasi, keuntungan, kontribusi ke negara), dan sosial (dampak sosial, rencana pemukiman kembali jika ada) semuanya dianalisis tuntas.

Evaluasi terhadap dokumen ini melibatkan tim teknis dari Kementerian ESDM (Dirjen Minerba) dan seringkali memerlukan koordinasi dengan Badan Geologi (ESDM), Badan Standardisasi Nasional (BSN) untuk aspek tertentu, serta Kementerian Keuangan terkait perpajakan dan penerimaan negara.

Pintu Ketiga adalah Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Jika lokasi tambang berada di dalam kawasan hutan (status Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi/HPK atau Hutan Produksi/HP), pintu berikutnya yang sangat berat adalah IPPKH. Izin ini dikeluarkan oleh Menteri LHK setelah melalui proses panjang yakni setelah keluar rekomendasi dari Dinas Kehutanan Provinsi dan Gubernur, sudah melakukan pembayaran Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR), telah menyusun Rencana Kerja Penggunaan Kawasan Hutan (RKP2KH), dan paling penting lagi adalah komitmen melakukan reklamasi dan revegetasi pasca tambang yang diatur sangat ketat, diawasi langsung oleh Kementerian LHK. Tanpa IPPKH, operasi tambang di kawasan hutan adalah illegal. Masih ada satu pintu lagi yang harus dilalui yakni Izin Penggunaan Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KPKP3K), seperti halnya tambang nikel di Pulau Gag, Raja Ampat.

Masih ada Pintu Keempat yakni Izin Lokasi dan Perizinan Dasar Lainnya. Sebelum Izin Usaha Pertambangan (IUP) Produksi, perusahaan perlu memperoleh Izin Lokasi dari Bupati/Walikota (melibatkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu/DPMPTSP dan Dinas Pertanahan Daerah), memastikan kesesuaian dengan RTRW dan status lahan. Perusahaan juga telah mendapat persetujuan prinsip atau Izin Prinsip dari Kementerian ATR/BPN terkait penggunaan tanah, Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari Dinas PUPR Daerah untuk fasilitas pendukung, Izin Penggunaan Air dari Dinas PUPR atau Balai Besar/Sungai, serta Izin Pengelolaan Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) dari KLHK/DLHD.

Pintu Kelima adalah Izin Usaha Pertambangan (IUP) Produksi dari Kementerian ESDM. Baru setelah semua pintu sebelumnya berhasil dilalui, terutama Izin Lingkungan yang sah, hasil Feasibility yang layak, dan IPPKH jika di kawasan hutan, serta IPKP3K dari Kementerian KKP kalau lokasi tambangnya di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil, maka Kementerian ESDM (biasanya Dirjen Minerba) baru boleh memproses dan menerbitkan IUP Operasi Produksi. Izin ini bukan titik akhir, melainkan awal dari fase operasi yang juga diawasi ketat oleh Kementerian ESDM (termasuk Inspektur Tambang), KLHK (dalam hal lingkungan), dan pemerintah daerah.

Baca Juga :  Tragedi Salameti, Konflik Yang Mengoyak Satu Kerahiman

Apakah pintu ini sudah berakhir? Belum, karena masih ada yang namanya Pintu Berkelanjutan yakni Pengawasan dan Evaluasi. Selama perusahaan tambang beroperasi, berbagai “pintu” pengawasan tetap aktif baik di Kementerian ESDM, Kementerian LHK, Kementerian KKP, termasuk Pemerintah Daerah, sesuai dengan fungsi dan perannya.

Misalnya, Kementerian ESDM akan terus memantau pelaksanaan rencana kerja dan anggaran (RKAB), produksi, penjualan, penerimaan negara, keselamatan pertambangan. Sementara Kementerian LHK akan memantau kepatuhan terhadap AMDAL, RKL-RPL, pengelolaan limbah, kualitas air/udara sekitar, dan pelaksanaan reklamasi progresif.

Kesimpulan dari tulisan ini sebenarnya ingin mengedukasi dan menjelaskan bahwa proses perizinan pertambangan demikian panjang dan melibatkan begitu banyak instansi (KLHK, ESDM, ATR/BPN, PUPR, KKP, Kemenkeu, Pemda Provinsi, Pemda Kabupaten/Kota, dan berbagai dinas teknis) yang menunjukkan bahwa operasi pertambangan legal adalah hasil kolektif dari evaluasi dan persetujuan banyak pihak. Setiap “pintu” mewakili sekat pengawasan dan persyaratan spesifik yang harus dipenuhi.

Oleh karena itu, ketika terjadi masalah, baik itu kerusakan lingkungan, konflik sosial, kecelakaan kerja, atau ketidakpatuhan lainnya, sangatlah naif dan tidak akurat untuk menyalahkan hanya satu pihak, terutama hanya Kementerian ESDM sebagai penerbit IUP Produksi.

Penyelesaian masalah dan pencegahan di masa depan memerlukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh rantai perizinan dan pengawasan. Setiap instansi yang terlibat dalam proses panjang ini memikul tanggung jawab sesuai peran dan kewenangannya. Sistem ini dirancang untuk memiliki banyak “pintu” sebagai bentuk checks and balances. Jika satu pintu gagal berfungsi, pintu lainnya seharusnya mampu menjadi pengaman.

Kegagalan sistem seringkali adalah kegagalan kolektif, bukan kesalahan tunggal. Maka, mencari solusi dan akuntabilitas pun harus dilakukan secara kolektif, dengan meninjau kembali kinerja setiap “pintu” dalam labirin birokrasi pertambangan yang kompleks ini.

Kalau masih ada yang suka mencari-cari alasan dan kesalahan, maka berarti motif dan tujuannya perlu dipertanyakan secara kritis! *** (AT)

Penulis: M. Azis Tunny, Ketua Umum BPD HIPMI Maluku. 

Berita Terkait

Dari Sang Pionir: Menelusuri Jejak HIPMI Maluku dalam Bayangan John Malaiholo
Paradigma 100 Hari Kerja Perlu Diluruskan
Kunjungan Maraton Bupati Asri Arman ke Jakarta: Diplomasi Pembangunan sebagai Sikap Politik Daerah yang Progresif
Eksistensi dan Cita Pemuda Muhammadiyah dalam Pluralitas Kebangsaan
Tragedi Salameti, Konflik Yang Mengoyak Satu Kerahiman
Blunder Spanduk di SBB: Kelalaian, Manuver Politik, atau Cerminan Birokrasi Amburadul?
Meritokrasi Maluku: Antara Harapan, Tantangan, dan Ancaman Balas Jasa
Tantangan dan Tanggung Jawab Bupati Baru: Efisiensi Anggaran dan Implikasinya terhadap Pembangunan Jalan Lintas Huamual serta Kesejahteraan Masyarakat

Berita Terkait

Senin, 9 Juni 2025 - 16:39 WIT

Jalan Panjang Izin Tambang dan Tanggung Jawab Kolektif

Senin, 2 Juni 2025 - 20:46 WIT

Dari Sang Pionir: Menelusuri Jejak HIPMI Maluku dalam Bayangan John Malaiholo

Minggu, 1 Juni 2025 - 15:22 WIT

Paradigma 100 Hari Kerja Perlu Diluruskan

Kamis, 29 Mei 2025 - 17:24 WIT

Kunjungan Maraton Bupati Asri Arman ke Jakarta: Diplomasi Pembangunan sebagai Sikap Politik Daerah yang Progresif

Kamis, 1 Mei 2025 - 00:07 WIT

Eksistensi dan Cita Pemuda Muhammadiyah dalam Pluralitas Kebangsaan

Berita Terbaru

Daerah

BPJS Kesehatan Gelar Forum Tingkatkan Peserta JKN di Tual 

Selasa, 17 Jun 2025 - 11:45 WIT