Oleh: M. Azis Tunny
Ambon, GardaMaluku.com– Konflik sejatinya hanya menyisahkan luka dan duka. Konflik yang baru saja terjadi antara Tulehu dan Tial, bukan sekadar soal parang dan batu, tapi tentang memori panjang yang terpendam, ego sektarian, dan kegagalan merawat warisan persaudaraan.
Ironisnya, insiden berdarah ini terjadi di Hari Raya Idul Fitri yang suci, saat seharusnya masyarakat saling merajut maaf.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Insiden 31 Maret 2025 bermula dari hal sepeleh: teguran di jalan sempit di Dusun Salameti, Negeri Tial. Tapi akarnya bisa jauh lebih dalam, seakan membuka adanya luka lama.
Terlepas dari konflik berdarah di hari suci, Tulehu dan Tial, dua negeri di Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku Tengah ini sejatinya memiki akar sejarah yang berasal dari satu kerahiman atau Gandong, anak cucu dari dua moyang bersaudara; Upu Sei Matawaru dan Upu Hatala Oi.
Bersama lima negeri yakni; Sila, Laimu, Asilulu, Paperu dan Hulaliu, ketujuh negeri ini terikat dalam hubungan Gandong yang dikenal sebagai Silatupatih.
Bentrok Tulehu-Tial yang mengakibatkan satu orang tewas dan dua luka serius, bukan sekadar konflik horisontal. Ini adalah cerita tentang luka lama yang belum sepenuhnya sembuh, ikrar leluhur yang terlupakan, dan panggung bagi kita semua untuk memilih terus memelihara api dendam, atau menyalakan lilin perdamaian.
Sangat naif rasanya bila generasi kita tumbuh dengan narasi-narasi kekerasan dan permusuhan, bukan dengan kisah persaudaraan yang semestinya saling melindungi.
Tragedi 31 Maret 2025 bukan sekadar kisah konflik, tetapi cermin retaknya ikatan Gandong, persaudaraan adat yang menyatukan Tulehu dan Tial selama berabad-abad lamanya.
Ini adalah kisah tentang bagaimana ikatan leluhur Silatupatih—persaudaraan tujuh negeri (Tulehu, Tial, Sila, Laimu, Asilulu, Paperu, dan Hulaliu) terkoyak oleh lupa dan luka.
Trauma konflik dan polarisasi politik mengikis makna sakral ini. Generasi muda kita tumbuh dengan narasi permusuhan, bukan lagi cerita tentang nenek moyang yang berbagi dusun, dan saling melindungi sumur bersama.
Konflik terakhir ini hanyalah puncak gunung es. Sejak 1999, Maluku menyimpan luka konflik horizontal yang belum sepenuhnya sembuh. Trauma kolektif masa lalu masih mudah tersulut oleh provokasi kecil, seperti teguran di jalan, bahkan sekadar postingan media sosial bisa menyulut amuk massa.
Konflik Tulehu-Tial bukan cerita tentang parang atau batu. Ini tentang lupa. Lupa bahwa Tulehu dan Tial lahir dari satu Kerahiman, rahim leluhur yang sama. Darah yang mengalir dari pusar yang satu. Tertulis dalam buku tembaga, pusaka negeri.
Konflik Tulehu-Tial adalah cermin bagi Maluku, dan buat kita semua: tanpa merawat ingatan kolektif tentang persaudaraan, kita hanya akan jadi bangsa yang terus mengubur masa depan di kuburan masa lalu. (AT)