“Birokrasi yang lemah membuka celah bagi manuver tersembunyi. Kesalahan bukan sekadar kelalaian—bisa jadi sinyal ada yang ingin bermain di balik layar.”
Oleh: Fahrul Kaisuku : Pimpinan wilayah Pemuda Muhammadiyah Maluku
Piru, GardaMaluku– Kejadian kesalahan spanduk dalam acara Gerakan Pangan Murah di Dusun Tanah Goyang, Desa Loki, menjadi bukti bahwa perhatian terhadap detail dalam pemerintahan bukan sekadar formalitas. Kesalahan yang mencantumkan Sekda sebagai “Bupati Seram Bagian Barat” jelas bukan hal sepele.
Ini bukan sekadar salah ketik atau kekeliruan desain semata, tetapi menimbulkan pertanyaan: apakah ini murni kelalaian atau ada unsur kesengajaan?
Dalam setiap acara resmi pemerintahan, spanduk, baliho, dan materi publikasi lainnya merupakan bagian dari representasi institusi. Kesalahan fatal dalam penyebutan jabatan pada spanduk resmi mencerminkan ketidakprofesionalan, atau lebih buruk lagi, lemahnya sistem kontrol dalam birokrasi.
Apakah tidak ada mekanisme pengecekan sebelum spanduk itu dicetak dan dipasang? Jika tidak ada, maka ada kelemahan struktural dalam manajemen acara pemerintahan yang harus segera diperbaiki.
Di sisi lain, jika kesalahan ini disengaja, maka ini adalah bentuk manuver politik yang sangat tidak sehat. Melekatkan gelar “Bupati” pada seorang Sekda bisa saja menimbulkan spekulasi yang tidak perlu, bahkan berpotensi menciptakan ketegangan di lingkup pemerintahan daerah. Situasi ini, jika dibiarkan, dapat merusak kredibilitas kepemimpinan daerah di mata masyarakat.
Bupati dan Wakil Bupati harus lebih jeli dan selektif dalam menempatkan orang-orang di posisi strategis, terutama dalam hal penyelenggaraan acara resmi.
Tidak boleh ada ruang bagi individu yang tidak profesional, apalagi yang bukan Aparatur Sipil Negara (ASN) tetapi diberi kewenangan dalam lingkup birokrasi.
Kesalahan seperti ini tidak hanya mencerminkan ketidaktelitian, tetapi juga bisa menjadi indikasi adanya kepentingan lain yang bermain di balik layar.
Wakil Bupati Selfianus Kainama sudah menyampaikan kritiknya dengan cara yang elegan—sindiran tajam dibalut senyuman. Namun, di balik ketenangan itu, ada pesan serius yang harus dipahami: birokrasi tidak boleh diisi oleh orang-orang yang abai terhadap tanggung jawab.
Peristiwa ini harus menjadi peringatan bahwa ketelitian dan profesionalisme adalah harga mati dalam pemerintahan. Jika tidak, jangan salahkan publik jika mulai mempertanyakan integritas orang-orang di balik layar.***